Detail Artikel

Jum'at, 08 Desember 2023

MARAHKAH GUNUNG MERAPI ?
MARAHKAH GUNUNG MERAPI ?
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. RajoPangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati dan mengkaji marahkah gunung merapi kepada umat manusia ?

Pertanyaan ini sulit dijawab.
Tetap dapat dijawab tentu berdasarkan pendapat ahli dan pendapat kearifan lokal mungkin dapat ditemukan jawabannya. Jatuhnya 23 korban jiwa akibat erupsi Gunung Marapi, Sumatra Barat yang disebut terjadi tiba-tiba pada Minggu (03/12) membuktikan bahwa prosedur dan rambu-rambu keselamatan "tidak diabaikan".

Pengamat kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurna, mengatakan bahwa korban tewas semestinya bisa dicegah andai rekomendasi untuk tidak mendekati kawah dalam radius tiga kilometer dipatuhi. "Kalau dilihat ada pendaki yang sampai merapat dekat ke kawah, maka SOP atau Standard Operational Procedure tersebut tidak diabaikan oleh pendaki dan pihak-pihak yang seharusnya memberi peringatan untuk itu," kata Eko kepada BBC News Indonesia, Selasa (5/12). Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011.

Aktivitas erupsi Gunung Marapi sempat meningkat pada 7 Januari 2023, sehingga pihak berwenang menutup sementara jalur pendakian. Akan tetapi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat membuka kembali jalur pendakian ke Marapi pada 24 Juli 2023, meski gunung dengan ketinggian 2.885 meter ini masih berstatus Waspada. Ditinjau dari ajaran syarak mangato bahwa alam semesta beserta isinya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT yang dinampakkan kepada manusia.

Terjadinya gempa bumi hingga meletusnya gunung tak lepas dari kebesaran Allah yang patut dijadikan pengingat dan peningkat ketakwaan. Dalam QS an-Naml ayat 88, Allah SWT berfirman, yang artinya, “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Allah berfirman dalam QS At-Tur ayat 6, yang artinya, “Dan laut yang di dalam tanahnya ada api.” bahwa api-api yang berada di dalam laut itu pun menyala dan menjadi knalpot bagi bumi.

Dalam ajaran syarak dikatakan bahwa gunung meletus mempunyai hikmah. Pakar ilmu Alquran KH Ahsin Sakho menjelaskan, adanya bencana di alam semesta merupakan pengingat. Bencana jika dilihat dari sisi kerusakan yang diakibatkannya, tentu saja tidak baik. Namun jika bencana gunung meletus itu menimpa orang Muslim dan dia mati karenanya, maka matinya tergolong syahid. “Percaya bahwa ini adalah ujian, cobaan, dan juga pengingat dari Allah SWT.

Ditinjau dari kearifan lokal gunung meletus Menurut hasil penelitian tentang gunung Merapi di Kabupaten Boyolali, Kecamatan Selo bahwa masyarakat adat di sana meyakini meletusnya gunung merapi karena kesejukan di sekitar gunung merapi sudah berkurang sehingga dapat menimbulkan panas. Kearifan lokal masyarakat adat di sana mengadakan upacara sedekah gunung merupakan wujud ucapan rasa syukur kepada alam atas nikmat dan hasil alam yang diperoleh masyarakat.

Dalam upacara sedekah gunung terdapat makna filosofi dan pesan-pesan ekologis yang tersirat dalam setiap wujud sesajennya, diantaranya adalah jadah bakar memiliki arti bahwa masyarakat desa tidak melakukan tindakan pembakaran lahan sehingga ekosistem hayati tetap lestari. Hiasan-hiasan di setiap tumpeng memiliki arti bahwa keamanan selalu terjaga dengan tidak melakukan penebangan pohon yang masif sehingga hutan tetap lestari.

Diyakini masyarakat local bahwa menjaga ekosistem hayati sangat penting. Keberadaan Gunung Marapi dikenal sangat kental mempunyai nilai historis bagi masyarakat Minangkabau. Konon menurut sejarah, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung Marapi.

Hal ini ditandai dengan terdapatnya Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Nagari Pariangan merupakan cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan masyarakat berbasis nagari di Sumbar. Sebuah animo unik yang berkembang di masyarakat, bahwa jika seseorang yang belum pernah melakukan pendakian ke Gunung Marapi, maka orang itu belum lengkap disebut sebagai orang Minangkabau.

Konon, daerah Sumbar pernah mengalami banjir yang sangat besar. Untuk menyelamatkan diri, mereka menumpangi perahu besar dan akhirnya terdampar di puncak Gunung Marapi. Pada saat banjir surut, nampaklah di bawah kaki gunung adanya Luhak nan Tigo atau 3 cekungan daratan. Rombongan kapal yang terdampar itu kemudian mulai menuruni tiga wilayah tersebut hingga beranak-pinak dan menjadi penghuninya hingga kini.

Luhak nan Tigo yang sekarang diketahui seperti Luhak nan Tuo, yakni meliputi Wilayah Kabupaten Tanah Datar termasuk Kota Batusangkar dan Padangpanjang. Selanjutnya, Luhak nan Tengah yakni Wilayah termasuk Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi. Sedangkan Luhak nan Bungsu yang berada di Kabupaten Limapuluhkota dan Kota Payakumbuh. Legenda inilah yang diyakini penduduk setempat sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat Minangkabau .

Oleh karena itu kearifan lokal Minangkabau melarang mendaki gunung merapi sebelum berdoa bersama untuk keselamatan dan sebelum mendaki hendaklah mengambil air uduk terlebih dahulu agar perjalanan dalam keadaan suci. Begitu juga tidak boleh naik gunung jika berpasangan muda mudi kalau bukan muhrimnya. Sebab gunung merapi itu dianggap suci karena dari situ asal usul nenek moyang orang Minangkabau. Jika naik muda mudi yang bukan muhrimnya maka dikhawatirkan oleh larangan adat, abih gali dek galitiak, abih raso dek bageso, kato mancik bagaluik, kato antimun alah luko. Hiambau Pujian ABSSBK sebaiknya dibuatkan aturan dan syarat – syarat sebelum naik gunung merapi baik syarat secara ilmiah maupun syarat secara alamiah atau syarat kearifan lokal dan haurus dipatuhi oleh para pendaki.