Rabu, 07 Februari 2024
ETIKA KAMPANYE PRESIDEN
ETIKA KAMPANYE PRESIDENoleh :
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta /
Ketua Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Kepala Laboratorium Hukum FH Universitas Bung Hatta
Sepekan menjelang Pemilu 2024, persoalan soal etika penyelenggara negara semakin berada di titik nadir. Mulai dari pelanggaran etika berat oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman akibat mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Putusan yang pada akhirnya memuluskan jalan anak Presiden maju, seakan menjadi putra mahkota itu tidak hanya merusak marwah MK namun juga memberikan noda dalam kontestasi pemimpin nomor satu di negeri ini.
Terbaru, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari dan 6 Komisioner KPU lainnya juga divonis melakukan pelanggaran etika oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Putusan ini diakibatkan oleh tindakan KPU dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Presiden.
Kondisi ini makin diperparah dengan dipertontonkannya sikap ketidaknetralan oleh Presiden Joko Widodo yang menyatakan Presiden boleh berkampanye dan berpihak dalam pemilu.
Pernyataan Presiden ini tentu jauh dari etika yang semestinya dimiliki oleh Presiden, sebagaimana yang diungkapkan Rushworth M. Kidder dalam buku How Good People Make Tough Choices (2009), bahwa etika memiliki arti sebagai ilmu karakter manusia yang ideal atau ilmu kewajiban moral yang mengacu kepada kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan rasa hormat. Apalagi pernyataan Presiden tersebut diucapkan bersama salah satu Calon Presiden yang akan berpasangan dengan anak Presiden sendiri.
Tafsir Parsial UU Pemilu
Pernyataan Presiden bahwa aturan terkait kampanye telah diatur dalam UU Pemilu, sejatinya tidaklah dapat ditafsirkan berdiri sendiri. Pasal 281 Ayat (1) dan Pasal 299 Ayat (1) UU Pemilu yang dipamerkan Presiden sebagai dasar untuk kampanye dan berpihak harus dibaca sebagai hak yang dimiliki Presiden sebagai peserta pemilu.
Hal ini tentu logis, karena secara sistematis ketentuan itu diikuti oleh Pasal 301 yang menjelaskan bahwa Presiden atau wakil Presiden yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon wakil presiden dalam melaksanakan kampanye pemilu harus memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Selain tafsir parsial ketentuan UU Pemilu, Presiden juga melupakan bahwa ada aturan yang juga harus ditaati dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang melarang Presiden sebagai penyelenggara negara untuk berperilaku nepotisme. Nepotisme dalam UU ini diartikan sebagai setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Ketentuan ini juga sejalan dengan sumpah Presiden saat dilantik yang akan berlaku adil dan menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya.
Untuk itulah sikap Presiden saat ini sangat disayangkan, bila merujuk dalam kajian filsafat hukum, akan dikenal tingkatan hukum yang bermula dari nilai, asas, norma, dan UU. Berdasarkan konsep itu, etika diletakkan pada tataran norma dan asas sehingga posisi etika berada jauh di atas hukum. Artinya, pelanggaran terhadap etika akan mendapatkan celaan lebih dari pelanggaran hukum. Nampaknya inilah yang sedang terjadi terhadap Presiden saat ini, di mana banyak perguruan tinggi menyatakan sikap dan kritik terbuka terhadap Presiden. Kritik yang disampaikan itu datang dari berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, dosen hingga para guru besar.
Potensi Dampak Buruk
Presiden tentu menjadi cermin langkah sebuah negara, sikapnya dan kepemimpinannya akan sangat berpengaruh terhadap sosial, ekonomi termasuk hukum dan politik. Buruknya situasi hukum dan politik saat ini hanya menjadikan rakyat sebagai objek kepentingan semata. Kepentingan dalam pemilu berupa suara dan kepentingan dari oligarki untuk terus berkuasa. Atas dasar itulah, etika menjadi benteng terakhir dalam bersikap, karena dengan etika dapat dibedakan benar dan salah (right and wrong), serta baik dan buruknya (good and bad) perilaku manusia.
Dampak buruk berpotensi terjadi bila etika kampanye ini terus dilanggar oleh Presiden. Pertama, membuka ruang kampanye terselubung, kampanye yang dilakukan oleh Presiden dengan ketentuan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara serta harus diikuti dengan surat cuti akan sulit diterapkan.
Bagaimana mungkin fasilitas negara tidak akan terpakai jika seorang Presiden melakukan kunjungan ke daerah-daerah tetap menggunakan pesawat, mobil dan kebutuhan kepresidenan lainnya. Segala tindakan Presiden berupa pembagian bantuan sosial kepada masyarakat hanya akan menjadi kampanye terselubung. Akibatnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan sulit juga membedakan Presiden sedang kampanye atau melaksanakan kerja-kerja pemerintahan.
Kedua, merusak netralitas aparat, Presiden seharusnya memahami bahwa berkampanye dan ketidaknetralan seorang Presiden sangatlah berbahaya, karena akan dapat memicu gelombang ketidaknetralan aparat di bawahnya, seperti Menteri, TNI/Polri, Aparatur Sipil Negara (ASN), Penjabat Kepala Daerah hingga Kepala Desa. Netralitas aparat dalam pemilu tentu penting untuk menjaga iklim kontestasi yang adil dan setara bagi semua kontestan bukan hanya calon yang didukung oleh Presiden.
Akhirnya, sesuai dengan pengertian kata etika dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya tampak dari suatu kebiasaan. Kebiasaan hanya akan berubah jika ada keinginan kuat dari orang yang memiliki kebiasaan. Ribuan masukan, kritikan bahkan teriakan belum tentu akan didengarkan. Lalu masihkah ada harapan?.