Sabtu, 07 Desember 2024
Konsolidasi BPR/BPRS Milik Pemda dan Bank Nagari
Konsolidasi BPR/BPRS Milik Pemda dan Bank NagariOleh : Dr Elyana Novira, SH.,MH.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.
Konsolidasi BPR atau BPRS bertujuan untuk mendorong BPR dan BPRS lebih kontributif serta mempunyai peran aktif dalam mendukung inklusi keuangan. Akselerasi konsolidasi BPR dan BPRS merupakan bagian dari salah satu pilar pertama untuk penguatan struktur dan daya saing. Pada tahun 2019 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 21/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan BPR dan BPRS.
Aksi korporasi berupa Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan BPR dan BPRS dilatarbelakangi atas inisiatif BPR dan BPRS atau atas perintah OJK (supervisory driven) dalam rangka pemenuhan Modal Inti Minimum 6 miliar rupiah sesuai ketentuan OJK. Berdasarkan POJK No. 5/POJK.03/2015, Modal Inti Minimum wajib dipenuhi oleh BPR paling lambat tanggal 31 Desember 2024. Bagi BPR dan BPRS yang belum memenuhi Modal Inti Minimum sebagaimana disyaratkan maka OJK berwenang memerintah BPR atau BPRS melakukan dan menerima penggabungan atau peleburan dan menerima pengambilalihan dari pihak lain.
Pemerintah daerah juga dapat mendirikan BPR atau BPRS. BPR atau BPRS milik pemerintah daerah adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan jenis usaha BPR atau BPRS yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah. BPR milik daerah terdiri atas Perusahaan Umum Daerah (Perumda) yaitu BUMD yang seluruh modalnya dimiliki satu daerah dan tidak terbagi atas saham. Selain berupa Perumda, BPR dapat didirikan juga dalam bentuk perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) yaitu BUMD yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % dimiliki oleh satu daerah.
Data yang penulis dapatkan dari Kantor OJK Provinsi Sumatera Barat, 6 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) dari BPR atau BPRS. Sesuai dengan amanat pada POJK No. 7 Tahun 2024 tentang BPR dan BPRS,maka pilihan bentuk badan hukum yaitu berbentuk badan hukum: Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi, sehingga menjadi jelaslah Perumda tidak dapat dijadikan sebagai badan hukum bagi BPR dan BPRS milik daerah, jika ingin dikategorikan sebagai BUMD.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan hanya 1 pemerintah kota yang menjadi PSP dari BPRS, 5 pemerintah kabupaten/kota menjadi PSP dari BPR, yang keseluruhannya berbentuk badan hukum PT, bukan Perseroda. Tentunya bentuk badan hukum PT dari BPR/BPRS berkenaan mengindikasikan belum ada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki saham minimal 51 %, konsekwensi hukumnya BPR/BPRS tersebut tidak bisa dikatakan sebagai BUMD
Pengertian PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham BPR atau BPRS sebesar 25 % atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan, atau memiliki saham BPR atau BPRS kurang dari 25 % dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR atau BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada Roadmap BPR dan BPRS tahun 2024-2027 dijelaskan BPR atau BPRS dalam kepemilikan dan/atau pengendalian PSP yang sama yang berlokasi dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama wajib melakukan penggabungan atau pelaburan paling lambat tiga tahun sejak ketentuan berlaku. Wilayah pulau atau kepulauan utama , merupakan wilayah propinsi yang masuk dalam teritorial pulau atau kepulauan : a. Sumatera, b.Jawa, c. Kalimantan, d. Bali dan Nusa Tenggara, e. Sulawesi, f. Maluku dan Papua.
Analisis dari data yang Penulis miliki menunjukkan, akan ada BPR di Sumatera Barat milik Pemda Kabupaten sebagai PSP yang diwajibkan oleh OJK untuk melakukan penggabungan atau peleburan. Demikian juga halnya dengan Bank Nagari, yang merupakan call name dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat. Bank Nagari sebagai PSP pada 10 BPR di Sumatera Barat dengan mengatasnamakan Dana Pensiun Bank Nagari dan 1 atas nama Bank Nagari, sehingga total 11 BPR di Sumatera Barat yang PSP nya adalah berinduk pada Bank Nagari. Pada Pasal 99 POJK No. 7 Tahun 2024 tentang BPR dan BPRS, mengatur pilihan penggabungan atau peleburan BPR dapat dilakukan antara (a) BPR dan BPR menjadi BPR, (b) BPR Syariah dan BPR Syariah menjadi BPR Syariah, atau (c) BPR dan BPR Syariah menjadi BPR Syariah.
Pada Roadmap BPD 2024-2027 yang dirilis OJK, pada tahun 2015 diluncurkan program transformasi BPD yang diharapkan dapat berjalan hingga tahun 2024, dengan fokus pada tujuan BPD sebagai Agent of Regional Development. Salah satu pilarnya adalah: penguatan peran terhadap perekonomian daerah dan nasional, yang dilakukan melalui berbagai inisiatif, diantaranya yaitu mendorong sinergi/konsolidasi BPD dengan BPR/BPRS, khususnya yang berada di bawah pemerintah daerah. Sinergi dan konsolidasi antara BPD dengan BPR/BPRS khususnya yang berada di bawah pemerintah daerah memerlukan dukungan dari BPD, karena BPD memiliki potensi dan skala usaha yang boleh dikatakan lebih baik dari sisi permodalan, pengembangan bisnis, juga mencakup usaha penyelamatan dalam hal BPR/BPRS menghadapi tekanan bisnis.
Kepala eksekutif pengawas perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, Pemda kini tak boleh memiliki secara langsung namun harus melalui BPD. (kontan.co.id, 27 Mei 2024). Salah satu alasannya menurut Dian Ediana Rae karena BPR milik Pemda hanya mengandalkan dana DPRD, dan rumit karena harus melalui putusan DPRD. Pemerintah Daerah diartikan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 94 Tahun 2017 tentang Pengelolaan BPR Milik Pemda, adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Pendirian BPR ditetapkan dengan Perda, demikian pula dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan oleh Perda tentang Penyertaan Modal yang berkenaan. Artinya tentu memerlukan keikutsertaan Pemerintah Kota /Kabupaten bersama DPRD dalam menetapkan Perda. Bila nanti OJK resmi menetapkan kepemilikan BPR atau BPRS yang PSP nya adalah Pemda, maka harus melalui BPD, untuk Sumatera Barat tentu kepemilikan BPR atau BPRS melalui Bank Nagari.
Hingga saat ini secara resmi belum ada keputusan yang menetapkan Bank Nagari konvensional dikonversi menjadi Bank Syariah. Hingga Juni 2024, Bank Nagari mencatat kinerja aset sebesar Rp. 32, 37 triliun, tumbuh Rp. 22, 14 miliar sejak Desember 2023. (Padang Ekspres, 5 Juli 2024). Keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menjadikan Bank Nagari sebagai Bank Syariah belum mencapai tujuannya, meskipun sudah cukup lama digodok , dengan berbagai kontroversi diantaranya adanya penolakan beberapa Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
Helat pemilihan kepala daerah baru saja usai , adanya kemungkinan Bank Nagari yang sekarang masih berbentuk Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah masih terbuka lebar, karena Gubernur yang akan dilantik nantinya adalah petahana. Menjadi suatu pemikiran bila nantinya akhirnya Bank Nagari menjadi Bank Umum Syariah yang akan berkonsolidasi atau bersinergi dengan BPR atau BPRS milik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka seperti apakah bentuk konsolidasi bila pemerintah daerah sebagai PSP BPR konvensional dengan Bank Umum Syariah (Nagari).
Secara prinsip, menurut Undang Undang Perbankan sebuah Bank Umum Konvensional dapat mejalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah tetapi Bank Umum Syariah tidak dapat menjalankan kegiatan usaha konvensional. Tentunya kita masih menunggu peraturan yang akan dikeluarkan oleh OJK sebagai tindak lanjut konsolidasi BPR milik daerah melalui BPD. Seperti apakah pola konsolidasi yang akan diberlakukan , apakah nantinya BPR/BPRS yang PSP nya adalah Pemda akan menjadi unit usaha dari BPD , namun tak kalah penting adalah penyehatan bagi BPR/BPRS milik Pemda. Di sisi lain BPD tentu juga dituntut untuk lebih sehat. Peran perbankan daerah lebih luas lagi, tidak hanya sebagai lembaga intermediasi , peranan BPD juga mendukung program pemerintah di tataran wilayah maupun nasional.
Selain itu, dalam konteks bentuk badan hukum bagi BPR/BPRS milik daerah, perlu penegasan pada tingkatan Permendagri yang secara tegas menyatakan BPR atau BPRS milik Pemerintah Daerah berbentuk badan hukum Perseroda atau Koperasi, sebagaimana diamanatkan pada POJK No. 7 Tahun 2024 tentang BPR atau BPRS, sehingga terjadi sinkronisasi antara POJK dengan Permendagri.
Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) memiliki konsep yang sama dengan Perseroan Terbatas (PT), sehingga keputusan yang diambil pada BPR atau BPRS tidak perlu melalui keputusan bersama DPRD dengan Pemda dalam bentuk Perda, namun cukup dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS ) sebagai organ tertinggi pada badan hukum Perseroda. Atau jika berbentuk badan hukum Koperasi, maka keputusan diambil pada organ Rapat Anggota, sehingga BPR/BPRS milik Pemda tidak memerlukan mekanisme yang panjang dalam menjalankan corporate action. Sebagai badan usaha di bidang perbankan perlu gerak cepat dari BPR/BPRS namun tetap dalam koridor asas kehati-hatian.
catatan: artikel yang sama juga sudah terbit di : https://padek.jawapos.com/opini/2365397833/konsolidasi-bprbprs-milik-pemda-dan-bank-nagari