Jum'at, 29 April 2005
Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Nelayan
Menurut Helmut, dalam sebuah buku yang diluncurkan belum lama ini, berdasarkan riset yang dilakukan Jerman, Norwegia, dan Denmark, menyebutkan bahwa masih banyak wilayah lepas pantai Indonesia yang belum dieksplorasi karena kelangkaan SDM. Padahal, sumber daya energi dan mineralnya cukup berpotensi. Bahkan, berdasarkan riset yang dilakukan Helmut dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), telah ditemukan substansi mineral dalam perairan Indonesia yang bisa dijadikan bahan bakar alternatif.Substansi berupa gas “hydrate” ini sampai sekarang masih menjadi pengkajian serius antara ilmuwan Jerman dan BPPT dalam proyek gabungan Jerman dan Indonesia.
Pembangunan kelautan tidak hanya membutuhkan tenaga pengelola saja, melainkan harus lebih dari itu. Sebab, untuk eksplorasi dan penelitian menyeluruh atas segala sumber daya maritim Indonesia, dibutuhkan kesiapan lebih dari apa yang dimiliki sekarang ini.
Saya pribadi berpendapat, bahkan Amerika Serikat pun akan kesulitan mengelola benua maritim raksasa seperti yang dimiliki Indonesia,’’ demikian Helmunt memaparkan. Meski demikian, Indonesia tetap harus memperhatikan masalah maritimnya. Terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan dinilainya sebagai langkah yang cukup baik. Untuk tahap awal, saat ini setidaknya Indonesia lebih memperketat pengawasan wilayah maritimnya berkaitan dengan penangkapan ikan ilegal.
POTENSI BESAR, NELAYAN TETAP SAJA MISKINSeperti telah kita ketehui secara umum bahwa banyak potensi kelautan dan perikanan yang belum tergarap secara optimal. Potensi besar itu bisa dilihat dari gambar di bawah ini.
Sumber: Depertemen Kelautan dan Perikanan RI
Gambar 1. Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia
Selain tidak tergarap optimal, potensi sumberdaya yang melimpah di kawasan pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil juga belum siap digarap secara optimal. Sebab, SDM yang ada masih rendah, belum adanya dana yang cukup, serta belum adanya persamaan persepsi antara pengelola dengan pengambil kebijakan.
Masalah serius lainnya yang menyebabkan fenomena itu terjadi antara lain disebabkan minimnya peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat tetap tidak terangkat oleh potensi-potensi tersebut.
Kurangnya koordinasi dan kerjasama antara pelaku pembangunan (stake holder) kawasan pesisir, juga turut memberi andil yang besar terhadap persoalan yang membuat potensi pesisir kurang terkelola. Hal itu diperburuk oleh kemiskinan masyarakat pesisir, lemahnya penegakkan hukum, belum adanya rencana tata ruang pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil. Padahal, misalnya, penataan ruang di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan langkah yang sangat penting dan strategis. Langkah tersebut, dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang pesisir secara terpadu dan terencana serta terkendali.
Gambar 2. Pemukiman Nelayan - Masalah kemiskinan nelayan masih menjadi masalah serius bagi pemerintah Indonesia, meski potensi yang di kandung sektor kelautan dan perikanan sangat menjanjikan
[newpage]
Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal diharapkannya berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan terlindunginya ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Yang tidak kalah pentingnya juga adalah berkaitan dengan pembiayaan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa persaoalan klasik yang dihadapi para nelayan kita adalah menyangkut soal pendanaan. Para pelaku bisnis kelautan sangat mendambakan adanya sebuah lembaga keuangan yang bisa mengatasi setiap jengkal permasalahan mereka dalam menjalankan aktivitas.
Gambar 3. Laut, Perahu dan Anak Nelayan – Kesulitan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan dan perbankan, menjadi kendala serius pengembangan nelayan Indonesia
Selama ini, mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan kredit dari bank pemerintah dan swasta. Kalaupun ada, prosesnya memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Jadi, sudah saatnya dipikirkan untuk membentuk sebuah lembaga pembiayaan yang mengkhususkan diri menangani persoalan nelayan dan para pelaku bisnis kelautan dan perikanan.
Kebijakan moneter dan fiskal yang diterapkan pemerintah selama ini belum cukup mendorong kemajuan sektor kelautan dan perikanan. Tingkat suku bunga untuk usaha perikanan di Indonesia masih tergolong tinggi. Kondisi ini jelas sangat berbeda jauh dibanding negara-negara lain. Jepang misalnya, tingkat suku bunga yang diberlakukan untuk sektor perikanan hanya tiga persen per tahun, Malaysia melalui Bank Pertaniannya hanya membebankan bunga 1-3 persen pertahun, Thailand dan Australia hanya 3-9 persen per tahun, sementara Indonesia berada jauh diatas angka-angka tersebut.
Untuk itulah, guna menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai lokomotif perekonomian dibutuhkan perubahan mendasar dalam kebijakan moneter dan fiskal. Adanya perubahan kebijakan pembangunan nasional dari yang selama ini lebih berorientasi pada wilayah darat kepada wilayah perairan, merupakan peluang yang cukup besar bagi perbankan untuk membantu pembiayaan sektor laut.
Presiden Megawati Soekarno Putri sendiri dikala beliau menjabat telah menyerukan agar para menteri dalam kabinetnya benar-benar serius dalam membantu petani dan nelayan5. Secara tegas Presiden memerintahkan Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, untuk bersama-sama dengan menteri dan pejabat terkait lainnya, segera menyelesaikan persoalan dasar yang melingkupi kehidupan para petani, petambak, peternak, dan nelayan.
Secara isi, pidato tersebut sungguh mulia. Selama ini, para petani dan nelayan terus terpinggirkan dalam pembangunan. Petani malah terus menjadi korban kebijakan pangan nasional yang selalu menjadi bias kepentingan perkotaan. Pemihakan terhadap petani dan nelayan memang sudah saatnya dikemukakan. Terlepas dari kejelian penyusun naskah pidato tersebut dalam melihat hal yang mendasar, Mega pribadi tentu mempunyai ketersentuhan hati pada nasib petani, petambak, peternak, dan nelayan.
Persoalannya, mungkinkah ketersentuhan hati serta instruksi tersebut cukup kuat untuk mengangkat nasib petani dan nelayan ? Tampaknya tidak. Berbagai syarat lain perlu pula dipenuhi agar upaya untuk membantu nasib petani dan nelayan benar-benar terwujud.
[newpage]
Tabel 1. Kelas Pelabuhan Perikanan di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal
KELAS PELABUHAN PERIKANAN
Samudera Nusantara Pantai P P I
Kapasitas Kapal > 60 GT 15 - 60 GT 5 - 15 GT 10 GT atau lebih
Daya Dukung 100 Unit/6.000 GT 75 Unit / 3.000 GT 50 Unit/ 500 GT Skala Kecil
Jangkauan Operasional ZEEI/Internasional Nusantara/ZEEI Pantai/Nusantara Pantai
Jumlah Ikan (Ton/Hari/Tahun) 200(40.000) 40 - 50 (8.000 - 15.000) 15 - 20 (3.000 - 4.000) 10 (2.000)
Pemasaran Lokal & Luar Negeri Lokal & Luar Negeri Lokal & Antar Daerah Lokal
Tanah PrasaranaIndustri Pemukiman PrasaranaIndustri PrasaranaIndustrikecil Prasarana
Sumber : Peluang Usaha Perikanan Departemen Pertanian - Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta, 1999
Kerja keras menteri teknis tidak akan optimal, bila pemberdayaan petani dan nelayan tidak masuk dalam agenda utama pembangunan ekonomi nasional. Karena itu, instruksi pertama Presiden semestinya ditujukan pada Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti agar memilih bingkai pembangunan ekonomi nasional yang dapat menempatkan pemberdayaan petani dan nelayan di posisi sentral tanpa mengabaikan bingkai pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pasar global.
Di sisi sebaliknya, Presiden juga perlu memahami peran daerah dalam upaya besar tersebut. Kerja paling konkret untuk mengangkat nasib petani dan nelayan justru harus dilakukan oleh pihak kabupaten. Hal demikian memerlukan finalisasi mengenai penataan otonomi daerah. Jika daerah dapat memperoleh kepastian mengenai tugasnya dalam memberdayakan petani dan nelayan, pusat juga harus memberi kepedulian khusus pada masalah tersebut, departemen teknis akan lebih terfokus untuk meningkatkan kapasitas daerah sehingga mampu memikul tugas tersebut.
Kita tentunya hanya berharap, mudah-mudahan pernyataan Presiden tidak sebatas sebagai seruan. Pernyataan seperti itu diharapkan menjadi sikap pemerintah. Suatu sikap yang bukan hanya menjadi kewajiban seluruh kalangan untuk mewujudkannya, namun juga menjadi kepedulian pribadi Presiden Megawati untuk terus memantau perkembangannya.
[newpage]
PEMBERDAYAAN NELAYAN
Wacana tentang bagaimana mengelolah potensi Sumberdaya Kelautan (SDK) kita yang demikian besar, menemukan momentumnya jika melihat arus perkembangan kecenderungan titik episentrum ekonomi dunia yang berangsur-angsur semakin bergeser dari kawasan petrodollar di Timur Tengah ke kawasan Pasifik yang potensial.
Seorang pakar futurology, John Hay mengungkapkan, “Atlantik adalah samudra masa lampau, Mediterran (Laut Tengah) adalah samudra masa kini, dan Pasifik adalah samudra masa depan (ocean of the future)”6
Namun yang terpenting adalah bagaimana nelayan bisa lebih diberdayakan di era desentralisasi. Sebab, semangat pengelolaan sumberdaya kelautan adalah semangat otonomi yang meletakkan daerah sebagai sumbu utama lokomotif pelaksanaannya. Dalam konteks ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDK-nya dengan tujuan utama tentunya pada kesejahteraan daerah dan masyarakat yang ada di dalamnya.
Namun, Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terutama berkaitan dengan ketentuan pada Pasal 10, tidak sejalan dengan upaya pengembangan sektor perikanan, bahkan bersifat kontraproduktif.
Pasal 10 ayat 2 pada UU tersebut mengatur wewenang daerah, dalam ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan sumberdaya ikan hanya terbatas pada 12 mil laut untuk pemerintah provinsi dan 4 mil untuk pemerintah kabupaten. Penjelasannya menyebutkan, khusus untuk penangkapan ikan tradisional, tidak dibatasi wilayah laut. Masalahnya, karena batasan tradisional belum ditentukan dengan pasti.
Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadi kontraproduktif terhadap pengembangan perikanan. Akibatnya, pengembangan perikanan di dalam batas-batas laut tersebut yang menjadi wewenang daerah akan sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi, karena mobilitas nelayan yang tinggi dalam menangkap ikan.
Sulit Dibatasi
Seharusnya, keberadaan UU No 22 tahun 1999 mengantisipasi terjadinya hal demikian. Dengan UU yang ada sekarang, pengembangan perikanan daerah provinsi dan daerah kota atau kabupaten akan menjadi sulit dibatasi oleh wilayah 12 mil laut dari garis pantai. Karena penggunaan tipe dan jenis teknologi penangkapan ikan saat ini yang berlaku di banyak daerah sudah melampaui batas-batas 12 mil laut tersebut. Bahkan, dengan armada penangkapan ikan yang ada, nelayan lokal sudah mampu untuk menangkap ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang lebih jauh dari 12 mil laut.
Terlepas dari potensi masalaah dan kelemahan yang ada pada konsepsi ini, secara teori dan empiris, keberhasilan konsep inipun bukan suatu impian. Bagaimanapun juga, kapasitas daerah yang sudah dimiliki sebelumnya dalam hal penangkapan ikan perlu dipelihara. Karena itu, diperlukan sebuah tambahan wewenang pemerintah provinsi dan kota atau kabupaten untuk mengelola, yaitu memberikan izin penangkapan, memantau kegiatan perikanan dalam hubungannya dengan eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi. Karena pada dasarnya, praktik dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur atau perangkat pemerintah pusat di daerah dan praktik tugas perbantuan, bisa digunakan sebagai wahana untuk memberikan tambahan wewenang bagi daerah dalam mengelola pemanfaatan sumberdaya ikan diatas batas 12 mil laut.
Salah satu akselerator munculnya konsep otonomi (desentralisasi), khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya kelautan adalah, ketika para pemikir teori pembangunan mengemukakan gagalnya pendekatan “centralized development plan” yang banyak dipraktekkan pada era 1969 atau 1970-an.
Secara empiris, trendi menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi (ken) atau kota (machi; shi; tou) melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) sejak tahun 1980-an khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam7
[newpage]
Dalam amandemen UU Perikanannya yang dilakukan mulai Mei tahun 2001, pemerintah Jepang kembali meningkatkan fungsi pelimpahan wewenang ke daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan. Contoh lain adalah UU Perikanan Magnusonnya Amerika Serikat (AS) yang meletakkan RFMC (Regional Fishery Management Council) sebagai ujung tombak pengelolaan perikanan di AS. Turunan dari kebijakan ini misalnya adalah konsep CDQ (Community Development Quota) yang sukses diterapkan di SDK Bering, Alaska.
Pendekatan Global
Semangat otonomi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bukan berarti tanpa kelemahan dan masalah. Seperti yang akhir-akhir ini dikhawatirkan oleh beberapa pengamat, potensi out of control mechanism dari para pengambil kebijakan di daerah sebagai akibat dari euforia desentralisasi berpelaunag menghambat tercapainya tujuan otonomisasi pengelolaan SDK. Selain itu, kekhawatiran praktik-praktik chauvinism berlebihan juga memiliki potensi kontribusi kegagalan yang sama. Padahal, pengelolaan SKD tidak bisa dilihat dari pendekatan lokal saja, melainkan juga harus dilihat dari dimensi global, khususnya untuk sumberdaya perikanan dan problem-problem pencemaran.
Dimensi global ini terasa semakin penting ketika Depertemen Kelautan dan Perikanan berencana memberdayakan nelayan kecil, sehingga diharapkan proporsi artisanal fisheries dan industrial fisheries menjadi lebih berimbang.
Dengan meningkatkan kemampuan nelayan kecil menjadi nelayan yang mampu bersaing dengan armada kapal besar, maka asumsinya adalah perairan laut lepas (offshore) yang menjadi sasaran. Baik optimalisasi penangkapan di perairan ZEEI atau malah mampu berubah ke distant waters fisheries seperti negara-negara perikanan maju lainnya. Sementara itu, spesies ikan ekonomi penting diperairan tersebut pad aumumnya tergolong sebagai highly migratory dan straddling fishstocks .
[newpage]
Dalam konteks inilah, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan pendekatan global diperlukan. Paling tidak ada tiga alasan pentingnya globaisasi pengelolaan kelautan ini:
a) Secara ekologi, jenis laut tidak bersekat, sehingga kekuasaan teritorial terhadap laut tidak dapat mengurangi arti pentingnya pengelolaan global. Karena faktor ekologi inilah, beberapa konsep aturan untuk beberapa spesies ikan khususnya yang tergolong ke dalam “stradding and highly migratory fish” harus dibuat dalam skala global dan melampaui batas-batas teritorial negara. Kasus-kasus IUU (Illegal, Unreported and unreglated) fishing dan FOC (flag of convenience) memicu pentingnya pengelolaan bersama ini.
b) Seperti yang juga dikhawatirkan oleh Friedheim, “problem excess demand” dari sumberdaya alam sebagai konsekuensi dari meningkatnya populasi dunia termasuk peran laut sebagai sumber protein hewani bagi peningkatan ketahanan pangan (food security) penduduk dunia tidak hanya dapat diantisipasi dalam skala nasional, apalagi regional atau lokal, melainkan merupakan problem global.
c) Isu-isu lingkungan seperti kelangkaan sumberdaya perikanan, degradasi pesisir, bencana tumpahan minyak, dan lain-lain menjadikan secara fisik tidak akan optimal memberikan jasanya bagi manusia. Problem ini membutuhkan penyelesaian secara multilevel dari nasional, regional, hingga global.
[newpage]
Alternatif Solusi
Guna melengkapi pendekatan lokal sehingga jiwa dari otonomi daerah dalam konsep SDK di Indonesia, maka pendekatan global dapat dijadikan sebagai komplemen dari pendekatan lokal.
Paling tidak, ada tiga kata kunci dari global ocean governace (GOG) yaitu, asas kesamaan (equitility) efisiensi (efficient) alokasi pemanfaatan sumberdaya kelautan, menyediakan cara pemecahan konflik pemanfaatan sumberdaya kelautan, dan meningkatkan aksi kolektif dari segenap stake holder terhadap masalah-masalah sumberdaya kelautan.8
Ketika Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dilansir FAO9 tahun 1995, sejak itu pendekatan GOG mulai diimplementasikan ke dalam tataran regional dan negara. Untuk wilayah laut lepas, pengelolaan sumberdaya perikanan dianjurkan dalam set-up RMO (Regional Management Organization) yang artinya “mewajibkan” kita untuk mengelola sumberdaya kelautan bersama-sama dengan negara yang secara geoekonomis terletak dalam wilayah yang sama, kekhawatiran terhadap problem hegemoni otomatis gugur, karena kaidah GOG yang utama adalah equity dan efficient. Dalam prakteknya, pengelolaan bersama ini tidak hanya mencakup masalah pemanfaatan sumberdaya, melainkan juga menyangkut konservasi dan upaya kontrol terhadap pemanfaatan sumberdaya yang berpotensi merusak lingkungan kelautan. Karena efek kerusakan tersebut bisa berdampak global.
Dalam konteks Indonesia, tentu saja pemikiran ini sangat relevan mengingat posisi geopolitik dan geoekonomi kita yang sangat strategis. Upaya Australia menarik Indonesia menjadi anggota CCSBT (Convention for Conservation Southern Bluefin Tuna) menjadi salah satu bukti bahwa dalam pengelolaan SDK, penyelesaian masalah yang tetap diperlukan. Karena laut itu sendiri pada dasarnya walaupun terletak di wilayah jurisdiksi suatu negara, tetap saja bersifat global.
[newpage]
MASALAH PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR
Wilayah pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan ekosistem darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga wilayah laut propinsi untuk kabupaten dan kota dan kearah darat batas administrasi kabupaten dan kota10.
Sejak REPELITA VI, pemerintah mencanangkan kebijakan sub-sektor kelautan yang memanfaatkan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan. Sumberdaya pesisir tersebut diharapkan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional dan meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk Indonesia. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar, beraneka ragam dan merupakan lautan tropis yang terkaya di dunia.
Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat dilakukan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran (supply capacity) yang tinggi dan kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar (market demand) masih terbuka sangat besar dikarenakan kecenderungan permintaan terhadap barang dan jasa kelautan terus meningkat bagi pasar domestik maupun pasar global.
Kebutuhan pasar tersebut menuntut kemampuan dari teknologi bangsa Indonesia dalam menghasilkan produk barang dan jasa dari sumberdaya pesisir sesuai dengan tuntutan pasar yang menekankan pada pemanfatan lestari.
Gambar 4. Kehidupan Nelayan – Potensi besar perikanan belum digarap optimal
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai stake holder seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Kehadiran berbagai stake holder dalam mengeksploitasi sumberdaya pesisir sering diikuti dengan berbagai perencanaan dan regulasi pemanfaatan. Masing-masing stake holder tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain pada sumberdaya dan ruang yang sama, khususnya di wilayah pesisir yang berkembang pesat. Setiap kebijakan instansi dan perencanaan pengguna sumberdaya memuat maksud, tujuan, dan target dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir tersendiri. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut telah memicu dan memacu kompetisi dalam pemanfaatannya, sehingga menimbulkan tumpang tindih dalam pengelolaannya yang pada akhirnya bermuara pada terjadi konflik dalam pemanfaatan.
Konflik pengelolaan ini semakin berkembang dengan lemahnya kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengkoordinasikan perencanaan sektoral dan swasta besar.
Akan tetapi lahirnya otonomi yang lebih luas melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberikan mandat dan kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengkoordinasi pemanfaatan sumberdaya pesisirnya. Pasal 3 UUPD menyatakan bahwa wilayah Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Selanjutnya dalam Pasal 10 UUPD memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk mengelola sumberdaya nasional sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi.
[newpage]
Kewenangan Pemda meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, serta tanggung jawab untuk melestarikannya. Kewenangan dalam tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan hukum, serta bantuan penegakan kelautan.
Sejak awal, sektor kelautan dan perikanan diyakini bisa menjadi salah satu dewa penolong bagi pemulihan krisis ekonomi. Pemulihan krisis ekonomi ini berdasarkan
potensi perikanan yang dimiliki dan juga pengalaman pembangunan di negara lain tentang kelautan dan perikanan yang sebenarnya memiliki sumber daya yang kecil seperti Norwegia, dimana sektor kelautan dan perikanan (bisa) menjadi sektor andalan.
Itu terjadi karena kinerja kelautan dan perikanan kita masih rendah. Seperti ekspor perikanan Indonesia yang hanya 1,76 milyar dollar AS, sementara Thailand telah mencapai 4,5 milyar dollar AS. Contoh lain, menyangkut tambak udang. Thailand misalnya telah mampu memproduksi delapan ton per hektar per tahun, sedangkan Indonesia hanya mencapai 400 kg per tahun.
Tabel 2. Potensi Lahan Budidaya Perikanan (tambak) di Indonesia Menurut Propinsi
No. Propinsi Luas (ha) %
1. Aceh 10.000 1,20
2. Sumatera Utara 12.000 1,44
3. Sumatera Barat 2.000 0,24
4. Riau 54.000 6,50
5. Jambi 12.000 1,44
6. Sumatera Selatan 38.00 4,58
7. Bengkulu 2.000 0,24
8. Lampung 4.000 0,48
9. Nusa Tenggara Barat 600 0,07
10. Nusa Tenggara Timur 200 0,02
11. Kalimantan Barat 8.000 0,96
12. Kalimantan Tengah 2.000 0,24
13. Kalimantan Selatan 12.000 1,44
14. Kalimantan Timur 52.000 6,26
15. Sulawesi Selatan 12.000 1,44
16. Sulawesi Tenggara 5.000 0,60
17. Sulawesi Tengah 3.400 0,41
18. Sulawesi Utara 1.000 0,12
19. Maluku 20.000 2,41
20. Irian Jaya 580.000 69,86
Total 830.200 100,00
Sumber : Dahuri et.al (1996)
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagai sebuah negara Maritim, Indonesia masih tertinggal dengan negara lain baik dalam soal tambak, pembudidayaan, penangkaran ikan, dan pengolahan ikan, karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang rendah dan manajemen profesional yang masih kurang. Dapat diartikan, menjadi masalah utama adalah persoalan internal yaitu produktivitas nelayan kita yang masih rendah. Selain produktivitas yang sangat rendah, juga masalah kelembagaan yang kurang mendukung sektor kelautan dan perikanan karena pada masa lalu hanya diurus oleh Dirjen.
Sedangkan masalah eksternal adalah dukungan dari instansi yang belum kondusif seperti sektor keuangan kucuran kredit untuk perikanan hanya mencapai 0,02 persen, karena banyak yang beranggapan bahwa sektor perikanan berisiko tinggi.
Sudahlah minim pengetahuan, dalam prakteknya, para nelayan seringkali menjadi “kuda beban” bagi pihak lain. Tak jarang, nelayan yang sedang melaut menjadi korban tindakan-tindakan kasar bahkan sampai penodongan dan perampasan bahan bakar.
Tak hanya itu, sejak dulu bantuan modal dari pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dan peralatan mereka juga sangat kurang. “Kami kalah bersaing dan diperlakukan kasar jika berada di luar kawasan perairan Sumatra,” ujar Rofiq, nelayan asal Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
Soal kurangnya bantuan atau kredit untuk nelayan memang diakui Menteri Kelautan dan Perikanan DR Rochmin Dahuri sangat kecil. Dan itu telah terjadi sejak zaman Orde Baru. Dari ketersediaan modal yang ada, kata Rohmin, hanya 0,02 persen yang dikucurkan pemerintah kala itu (orde baru) untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Tapi saat ini, pihaknya mengaku sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 105,8 miliar untuk 30 propinsi dalam bentuk proyek pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisir.
Pihaknya juga mengakui, nelayan kita masih ketinggalan dibanding nelayan asal negara tetangga, Thailand dan Malaysia. Menurut Rochimin, nelayan kita saat berangkat melaut tidak membawa es curah di palkanya dan meletakkan begitu saja ikan hasil tangkapannya di dek kapal, yang mengakibatkan ketika sampai didarat ikan akan bau. Sementara, nelayan Thailand dan Malaysia, sebelum berangkat mereka sudah menyiapkan es curahnya di palka, hingga ikan hasil tangkapanya bisa langsung didinginkan, dan saat sampai di darat, ikan tidak bau dan masih dalam keadaan segar.
[newpage]
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
DALAM OTONOMI DAERAH
Dalam pemberdayaan nelayan dan pengelolaan kawasan pesisir, setidaknya ada lima prinsip dasar yang harus dipakai. Prinsip dasar ini yakni pengelolaan pesisir terpadu seperti yang menjadi perencanaan Depertemen Kelautan dan Perikanan. Kelima prinsip tersebut yakni :
a. Keterpaduan Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Integrasi perencanaan horisontal, memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota.
b. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal
Integrasi Perencanaan Vertikal meliputi integrasi kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten dan kota, Propinsi, sampai Nasional.
c. Integrasi Ekosistem Darat dengan Laut
Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi, Kabupaten dan kota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
d. Integrasi Sains dengan Manajemen
Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.
e. Integrasi antar Negara
Pengelolaan wilayah pesisir yang berbatasan dengan negara tetangga perlu mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya pesisir masing-masing negara. Integrasi kebijakan ataupun perencanaan antar negara antara lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, seperti di antar Pulau Batam dengan Singapura.
Gambar 5. Dalam era Otonomi, saatnya nelayan lebih diberdayakan
Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan wilayah pesisir telah diserahkan pada Daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 UUPD, yaitu yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, tata ruang dan administrasi serta penegakan hukum di laut. Untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kesiapan Daerah dan kemampuan kelembagaannya untuk mengembangkan tanggung jawab dan kewenangan yang diberikan dalam mengelola sumber daya pesisir didaerah.
Tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk dapat dimanfaatkannya sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan substitusi non-hayati. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan harus dilakukan dengan hati-hati.
Pada bagian lain, kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam konteks ini, kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses, hak memiliki, dan memanfaatkan sumberdaya pesisir.
Pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut dilindungi oleh negara dan diakui oleh stake holder lainnya. Sehingga setiap orang atau kelompok dapat mengelola pesisir secara terencana dan memiliki rasa kepemilikan yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. Kepastian hukum dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir tanpa intervensi oleh pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain.
Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan investasinya dalam jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemda, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
Bukan rahasia lagi kalau perikanan Indonesia memiliki masalah ketimpangan struktural yaitu sudah lama didominasi armada skala kecil. Magnitudnya bergeser secara perlahan, namun trendnya tetap sama yaitu skala kecil tetap mayoritas. Secara ilustrasi pada tahun 1994, nelayan skala kecil mendominasi 84 persen dan setelah berselang selama 5 (lima) tahun dengan berbagai program dan proyek, sedikit menurun menjadi 82 persen. Dengan kata lain perubahan struktural tidak terjadi selama lima tahun terakir.
Akibat dominasi perikanan skala kecil ini, maka produktivitas perikanan menjadi rendah, yang akhirnya membuat rendahnya pendapatan rata-rata nelayan dan petani ikan. Karena pendapatan yang rendah dan hal tersebut berlangsung dari tahun ke tahun, maka sebagian besar nelayan dan petani ikan terperangkap dalam kemiskinan struktural. Selain itu, secara struktural pula sebagian kecil nelayan skala besar dari tahun ke tahun meraih pendapatan yang tinggi sebagai refleksi dari keunggulan mereka dalam hal teknologi, modal, pasar dan manajemen usaha.
Untuk itulah diperlukan sebuah langkah dan formula yang tepat dalam upaya meningkatkan derajat dan taraf kehidupan nelayan. Budidaya perikanan11, misalnya diyakini akan mampu menggenjot perekonomian mereka. Sangat tepat kiranya jika perikanan budidaya dikembangkan, karena produksi ikan dari perikanan tangkap tidak dapat diandalkan. Mengapa demikian, dari data yang ada menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi perikanan tangkap telah mencapai 100 persen dari JTB (Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan).
Indonesia dengan iklim tropiknya memiliki potensi sumberdaya perikanan budidaya yang cukup besar, baik untuk pengembangan usaha perikanan air tawar, payau maupun laut. Potensi pengembangan usaha budidaya di perairan umum (di sungai, waduk, empang, danau dan rawa) sebesar 550.000 Ha, pembudidayaan di kolam sebesar 375.000 Ha, dan pembudidayaan di sawah (minapadi) sebesar 240.000 Ha.
Sampai dengan akhir tahun 1999 luas usaha pembudidayaan ikan tercatat mencapai 594.176 Ha (sebesar 2,3% dari luas potensi pembudidayaan), terdiri dari usaha budidaya laut sebesar 388 Ha (0,0015%), tambak sebesar 393.196 Ha (1,5%) kolam sebesar 65.889 Ha (0,25%), keramba jaring apung sebesar 34 Ha (0,0001%), sawah sebesar 135.057 Ha (0,52%).
Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan budidaya yang baru mencapai 2,3 persen menunjukkan bahwa usaha perikanan budidaya masih sangat potensial untuk dapat ditingkatkan, khususnya bagi usah budidaya laut dan pembudidayaan ikan di danau. Sedangkan untuk pengembangan usaha budidaya tambak harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian dan secara ketat memperhatikan kelestarian ekosistem jalur hijau hutan mangrove.
LANGKAH PEMBERDAYAAN NELAYAN
Kita tahu, bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan mosaik dari ekosistem yang kaya dan sangat beragam serta merupakan sumberdaya yang sangat strategis bagi keberadaan ekonomi, sosial dan pembangunan suatu negara. Wilayah pesisir yang kaya dan sangat beragam sumberdayanya sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang sangat kompleks.
Di sektor ekonomi terjadi persaingan dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya di wilayah pesisir sehingga seringkali mengakibatkan pola pemanfaatan dan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Sumberdaya pesisir berkarakter pelik dan sangat penting bagi ekosistem global kita. Pendekatan perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang sifatnya sektoral telah terbukti tidak dapat memecahkan masalah pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir. Begitu pula pembangunan dan perencanaan tata ruang dengan pendekatan sektoral tidak dapat mencapai pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan. Karena itulah Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu mencerminkan alternatif pendekatan yang berbeda dengan perencanaan dan pengelolaan tradisional bagi wilayah pesisir.
Dalam konteks Otonomi Daerah, kewenangan yang diberikan untuk kabupaten dan kota dalam mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautannya, sudah menjadi modal dasar bagi peningkatan kemampuan daerah dalam ber-otonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, kebutuhan akan adanya institusi dan lembaga yang mampu mengarahkan, menjembatani dan menfasilitasi pemberdayaan potensi kelautan dan perikanan, menjadi faktor penting yang paling mutlak dalam mencapai hasil yang maksimal. Pembentukan institusi dan kelembagaan di bidang kelautan dan perikanansecara teritorial hendaknya dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut ;
1) Adanya kewenangan yang jelas memungkinkan Daerah Kabupaten dan kota dalam mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautan secara lebih berdayaguna dan berhasil guna sesuai dengan kebutuhan daerah dan aspirasi masyarakat.
2) Wilayah kecamatan sebagai perangkat Daerah Kota kian memperkuat Pemerintah Kota mengambil kebijakan dalam rangka pemberdayaan sumberdaya kelautan dalam wilayah Kota sesuai dengan potensi yang tersedia.
3) Kelurahan sebagai wilayah pemerintahan terkecil yang merupakan perangkat dari Pemerintah Daerah Kota merupakan modal dasar dalam pengambilan kebijaksanaan dalam pengembangan dan pengelolaan potensi kelautan kelurahan sepanjang kawasan pesisir Kota atau Kabupaten, dan dengan mengembangkan kerja sama antara keluruhan .
Selama ini, pemanfaatan dan pengelolaan kelautan dan perikanan dihadapkan pada beberapa kendala. Setidaknya, ada delapan persoalan pokok yang menjadi permasalahan nyata secara berkelanjutan di masing-masing daerah. Ke delapan persoalan itu, yaitu :
q Over fishing, terutama di perairan pantai (4 mil) dan sebagian perairan lepas pantai.
q Pemanfaatan yang tidak optimal diperairan lepas pantai dan laut dalam.
q Teknologi, umumnya alat tangkap yang digunakan masih tradisional dan variasi alat tangkap kecil.
q Sumberdaya manusia, lemahnya kemampuan sumberdaya manusia dan masih rendahnya keinginan menyeluruh dari pihak birokrat untuk pengembangan perikanan.
q Kerusakan habitat dan degradasi lingkungan.
q Lemahnya peraturan dan penegakan hukum.
q Kelembagaan perikanan yang belum atau tidak profesional.
q Belum adanya tata ruang pesisir.
Untuk itulah, masing-masing daerah diharapkan memiliki rencana induk kelautan dan perikanan, guna menyusun rencana penggunaan ruang kawasan pesisir dan lautan yang dapat diimplementasikan dan mengakomodasikan seluruh potensi andalan, sehingga tidak terjadi (lagi) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan arahan rencana, daya dukung lingkungan dan potensi yang ada.
Upaya ini sekaligus harus diikuti dengan langkah menunjang keseimbangan produksi perikanan antar wilayah sekitar kawasan pesisir di kabupaten dan kota dan antar daerah yang dapat saling terkait guna menumbuhkan pasar yang kompetitive serta mewujudkan pemerataan pembangunan di daerah, sekaligus mengembangkan komoditas perikanan dalam skala besar guna mendorong peningkatan sektor agrobisnis.
Tujuannya, selain sebagai pendataan kelembagaan kelautan dan perikanan yang sudah ada, juga untuk identifikasi dan kajian kegiatan yang dapat digabungkan menjadi satu kegiatan usaha kelautan dan perikanan.