Detail Berita

Eko Alvares : Tata Ruang Berbasis Bencana Masih Terabaikan
Eko Alvares : Tata Ruang Berbasis Bencana Masih Terabaikan

Rabu, 10 September 2014

Ancaman bencana seperti gempa, tsunami, banjir dan longsor, abrasi pantai, banjir bandang kabut asap serta ancaman bencana yang di timbulkan akibat sampah, nyaris mengancam di seluruh wilayah Nusantara. Berdasarkan peta kerawanan bencana, bencana seperti banjir dan longsor, banyak melanda daerah yang dilanda bencana berada di zona rawan bencana. Hal ini membuktikan bahwa tata ruang berbasis bencana masih terabaikan.

Dr. Eko Alvares.Z.MSA memaparkan dalam Seminar Implementasi Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Bencana yang digelar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UBH di Aula Balairung Caraka Kampus I UBH Ulak Karang, Rabu,10/9/12 menyebutkan, setiap wilayah dan kota mempunyai karakteristik yang berbeda, alam dan budaya juga berbeda. Ancaman dan kerentanan akibat bencana juga menjadi sangat bervariasi dan intensitas yang berbeda pula

“Disisi lain, seringkali tahapan dan proses penyusunan perencanaan wilayah dan kawasan cendrung menjadi sama, sehingga karakter dan persoalan khas wilayah dan kawasan kurang mendapat perhatian, proses perencanaan memerlukan waktu yang relatif panjang, sementara persoalan aktual dan faktual terus berkembang” jelas Eko.

Disebutkan Eko, kendala implementasi tersebut antara lain, RTRW Kota skala 1:10.000 dan RTRW Kabupaten skala 1:100.000 belum sepenuhnya operasional dan sulit menjadi rujukan dalam pengendalian penataan ruang dan bangunan, demikian juga halnya dengan RDTR skala 1:5000 masih kurang operasional sebagai rujukan pengendalian pembangunan dan tiak disertai dengan aturan pemanfaatan ruang yang lengkap, diperlukan peraturan zonasi yang merupakan perangkat aturan pada skala blok seperti di negara maju, sehingga lebih potensial untuk melengkapi aturan dalam pelaksanaan RDTR Kota agar lebih operasional.

Ditambahkan Eko, pemerintah melalaui BNPB telah membuat peta risiko bencana di semua provinsi Indonesia dan telah diserahkan kepada BPBD. ”Namun, sampai saat ini belum semua produk pengaturan tata ruang selesai dikerjakan. Banyak kabupaten/kota belum menyelesaikan rencana detail tata ruang sehingga proses mitigasi bencana belum efektif, akibatnya ketika terjadi bencana timbul korban dan kerugian ekonomi,” imbuh Eko.

Dalam praktik, peta risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman dalam penyusunan tata ruang. Tata ruang yang disusun tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tata ruang berbasis mitigasi bencana harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan.

Tata ruang harus secepatnya membumi atau sampai pada skala bangunan (1:1000), mekanisme pengendalian pembangunan seperti izin harus di dilakukan secara lengkap dan perlu instrument tambahan seperti zoning regulation dan panduan disain perkotaan. “Dan karena ini produk hukum, maka perlu intensif dan deinsentif” ujarnya.

Seminar Nasional yang di gelar sehari itu di buka oleh Rektor UBH Prof. Niki Lukviarman,SE,Akt.,MBA dengan menghadirkan pembicara dari Sekretaris Dirjen Penataan Ruang Kementrian PU Dr.Dra.Lina Marlia,CES, Kepala BPBD Sumbar Ir. Yazid Fadhli,MM serta Fidel Miro,SE.,MT Dosen PWK-FTSP Universitas Bung Hatta. (**Indrawadi-Humas UBH).