Mahasiswa Pindo UBH Dalami Ilmu Budaya Alam Minangkabau
Jum'at, 07 November 2014
Sebanyak 100 lebih mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta mengikuti kuliah lapangan untuk pemantapan mata kuliah Budaya Alam Minangkabau dengan mengunjungi objek wisata kebudayaan Istano Basa Pagaruyung yang berlokasi di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat pada 02 November 2014 lalu.Dra. Hj. Syofiani, M.Pd., Ketua Jurusan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga merupakan dosen pembimbing mata kuliah Budaya Alam Minangkabau mengatakan kunjungan ini merupakan pencocokan materi perkuliahan dengan objek pengamatan.
"Materi yang sudah dipelajari di kelas dapat dilihat langsung objeknya dan bagaimana hubungan materi dengan pengamatan langsung tersebut, di sini kita pergi jalan-jalan sambil mencari ilmu dan memperoleh pengalaman sejarah," ungkapnya.
Sementara itu, Drs. Kamaru Zaman, MA, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata setempat yang diundang sebagai pemateri pada kuliah lapangan ini mengatakan kebudayaan terbagi dua yaitu tangibel dan intangibel.
"Tangibel merupakan bentuk kebudayaan yang bersifat benda yang salah satu bentuknya adalah Istano Basa Pagaruyung itu sendiri, dan intangibel merupakan bentuk kebudayaan yang tidak bersifat benda contohnya kesenian seperti randai, tari piring, tari indang dan lain sebagainya," ujarnya.
Kamaru Zaman juga menjelaskan kawasan Istano Basa Paruyung terbagi atas tiga zona, zona pertama mencakup Istano Basa Pagaruyung, dua buah ambuang, dan rangkiang. Selanjutnya zona kedua yang tercakup di dalamnya kolam, pintu raputi tempat mandi rajo, Rumah Bodi Chaniago dan Rumah Koto Piliang.
"Istano Basa Pagaruyung ini sendiri merupakan perwakilan dari kedua kelarasan yaitu Bodi Chaniago dan Koto Piliang, sehingga di sana akan terlihat tonggak yang menggantung yaitu pertemuan antara dua sistem pemerintahan yang berbeda-beda," tuturnya.
"Bodi Chaniago dengan sistem pemerintahan dari bawah mambasuik dari bumi dan Koto Piliang sistem pemerintahan dari atas yaitu turun dari langit," jelasnya lebih lanjut.
Menurutnya, Istano Basa Pagaruyung ini sudah ketiga kalinya terbakar, yang pertama dibakar oleh orang Belanda, lalu dibangun lagi dan terbakar lagi. Dalam peristiwa tersebut benda-benda yang berada di lantai bawah berhasil diselamatkan dan diletakan di BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya), yang ada saat ini adalah duplikatnya saja.
"Dan terakhir untuk zona ketiga adalah bagian belakang yaitu zona pengembangan bakat anak," imbuhnya.
Lina, peserta kuliah lapangan mengaku memperoleh banyak pengalaman dari kuliah lapangan dengan didatangkan pemateri yang berkecimpung di bidang kebudayaan itu sendiri dan melihat objek langsungnya.
"Selain menghubungkan teori pembelajaran dengan objek langsung kita bisa bertanya jawab dengan narasumber yang bersangkutan langsung dengan bidang kebudayaan, banyak hal yang awalnya kita tidak tahu menjadi banyak hal yang kita ketahui," ungkapnya. (**Ubay-Humas UBH/Wahyu WP)