Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Jum'at, 15 April 2005 Keteknikan

Prospek Profesi dan Pendidikan Quantity Surveying (QS) di Indonesia

1. PENDAHULUAN

Profesi QS adalah profesi yang ahli dalam bidang ekonomi pembangunan dan mempunyai tujuan untuk memastikan bahwa sumber daya yang digunakan dalam industri pembangunan dapat bekerja secara maksimal dan seekonomis mungkin Profesi ini memberikan jasa konsultasi biaya pembangunan bagi pihak klien dan tim proyek selama proses pembangunan.

Menurut The Royal Institution of Chatered Surveyors (RICS) dalam beberapa kajian terakhirnya menyimpulkan bahwa perlunya pengertian dan pemahaman yang lebih tentang biaya pembangunan. Baik dalam hal perubahan keadaan dan peran dari quantiti surveyor. Peran dan perkembangan ilmu ini dalam tahun-tahun terakhir cukup pesat dan bermanfaat bagi pengurusan keuangan tertentu dari pembangunan proyek (…………………,19….).

Ashworth (1994), mengatakan bahwa “Quantity Surveying merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan pada bidang pengukuran atau penaksiran bahan-bahan dalam kerja-kerja pembangunan”.

Christoper dan Partner (1994), mengatakan tugas dan tanggung jawab profesi QS adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan perkiraan biaya awal suatu proyek.
  2. Membuat perancangan biaya termasuk perkiraan investasi suatu proyek.
  3. Merancang perputaran biaya (Cash flow) dan analisis nilai (Value analysis).
  4. Procurement dan proses tender.
  5. Membuat dokumen tender.
  6. Mengevaluasi hasil tender.
  7. Membuat laporan keuangan dan pembayaran sementara.
  8. Membuat laporan akhir keuangan dan penyelesaian jika terjadi perselisihan pada dokumen kontrak.
  9. Menjalankan pengurusan proyek.
  10. Memberikan pengarahan tentang pelaksanaan proyek.
Dalam industri pembangunan di Indonesia profesi QS berada dalam konsultan perencana dan konsultan pengawasan. Kedua konsultan ini harus menjadi anggota INKINDO (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia) (Tela, 2000).

Pada saat ini di Sumatera Barat terdapat kira-kira 300 buah konsultan perencana yang mempekerjakan Arsitek maupun teknik lainnya untuk melakukan pekerjaan QS (Peli, 1999). Mereka hanya dibekali oleh pengalaman tentang perhitungan/perkiraan biaya suatu proyek dan mempelajari secara otodidak. Kebanyakan mereka mengakui diri mereka sebagai ahli QS walaupun bukan lulusan dalam bidang QS. Sehingga dalam pekerjaan pengukuran dan pembuatan biaya proyek sering terjadi masalah.


2. Tantangan dan Peluang Pendidikan QS di Indonesia

Di negara maju terutama di United Kingdom, jasa QS telah berkembang dan menjadi penentu dalam suatu projek. Dengan fungsi dan peranan profesi QS sehingga suatu projek akan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Di negera berkembang profesi QS ada karena keperluan dari suatu projek bantuan dari negara maju yang mengharuskan konsultan QS. Karena ketiadaan tenaga pada Negara yang dibantu tersebut maka Negara donor cenderung membawa sendiri tenaga QS dan mereka dibayar sangat tinggi. Dengan keterbatasan tenaga QS tersebut seolah-olah profesi menjadi kelompok elit dan terkesan tanpa mengikut sertakan tenaga QS lokal yang ada. Ini mungkin karana tidak terdapatnya tenaga lokal yang berlatar belakang QS dan ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dari berbagi pihak (Waluyo, 1995). Tenaga QS lokal tidak dapat meningkatkan pengetahuan atau melanjutkan pendidikan secara formal yang hanya tersedia di negara maju saja. Mereka hanya dapat meningkatkan pengetahuan mereka melalui majalah, jurnal-jurnal dan kursus-kursus. Disamping itu mereka juga kurang meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memikirkan pengembangan profesi mereka sehingga ketergantungan pada tenaga asing QS masih dominan. Tenaga asing yang ada juga tidak membantu tenaga lokal untuk berdiri sendiri. Banyak diantara mereka hanya memikirkan kedudukan mereka tanpa mahu membantu tenaga lokal untuk dapat maju di bidangnya (Alkayat, 1995).

[newpage]
Saat ini di Indonesia pendikan formal dan profesi QS belum lagi ada. Secara informal profesi QS sudah diakui keberadaannya dalam konsultan perencana dan konsultan pengawas. Pendidikan informal juga sudah sering diadakan terutama di Ibu kota Jakarta dan kota Padang. Di Jakarta kursus-kursus singkat tentang QS diadakan oleh konsultan yang bergerak di bidang QS dan di Padang kursus QS diadakan oleh Universitas Bung Hatta. Kursus-kursus pendek ini dapat dijadikan prasarana para pekerja yang ada pada konsultan daerah untuk meningkatan pengetahuan mereka sehingga perbedaan tingkat pengetahuan antara Quantiti Surveyor asing dengan daerah dapat disingkatkan.

Di Indonesia profesi QS belum mendapatkan pengesyahan dari pihak pemerintah sehingga profesi ini hanya bergerak disektor swasta. Kebanyakan proyek-proyek pemerintah dikerjakan tanpa melibatkan QS tetapi cukup oleh para engineer/Arsitek saja (Peli, 1999). Carlo dan Peli (2001) mengungkapkan bahwa masih banyak tenaga QS yang diperlukan oleh perusahan-perusahan yang bergerak diibidang Jasa Konstruksi (Tabel 1) dan banyak pekerjaan di bidang QS yang dikerjakan oleh tenaga bukan QS (Tabel 2). Ini merupakan peluang dan tantangan yang harus dihadapi oleh institusi pendidikan teknik di Indonesia.

Tabel 1: Jumlah Tenaga Teknik Ekonomi Bangunan yang dibutuhkan pada
perusahaan perusahaan yang bergerak dibidang jasa konstruksi di Sumatera Barat (Carlo dan Peli, 2001)

Tahun Perusahaan atau Lembaga yang membutuhkan
Kontraktor Konsultan Bank Real Estate Pemda Lain-lain
1997 120 125 10 25 15
1998 125 100 5 5 5
1999 120 100 - 5 5
2000 175 75 3 10 5



Tabel 2: Jumlah Pekerjaan Teknik Ekonomi Bangunan yang dilakukan oleh
bidang ilmu lain di Pulau Sumatera (Carlo dan Peli, 2001)

Tahun Bidang yang mengerjakan
Sipil Arsitektur Diploma STM Elektro Mesin
1997 1250 250 50 35 10 8
1998 1100 110 75 100 5 3
1999 1100 150 75 100
2000 975 150 50 75 6 3


Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan, disikapi secara bijak oleh institusi pendidikan di Indonesia yaitu pelaksanaan otonomi daerah, era globalisasi dan lulusan S1 yang tidak siap pakai. Ketiga-tiga ini menuntut sumber daya manusia yang berkualitas baik untuk perencanaan, pelaksanaan, pengendalian maupun untuk evaluasi.

[newpage]
Menurut Frank Feather (dalam Arifin, 1992), era globalisasi terdiri dari beberapa tahapan (gelombang), mulai dari gelombang I sekitar tahun 1880-an dengan ciri pertanian, gelombang II tahun 1880-1935 (manufaktur), gelombang III 1935-1990 (bidang jasa), gelombang IV tahun 1990-an (informasi dan ilmu pengetahuan), gelombang V (leasure society) sampai gelombang VI (abad ruang angkasa) diperkirakan di mulai pada era 2000-an.

Sejak tahun 1990-an tampak ada perubahan nilai-nilai dan budaya, seperti semakin meningkatnya semangat untuk berkomunikasi antar individu dan masyarakat, baik secara lokal maupun secara global, sehingga tidak ada satupun negara di dunia ini yang mampu menghindari dampak globalisasi itu. Masuknya produk dan jasa asing ke Indonesia tidak bisa dibendung lagi yang akhirnya menyebabkan persaingan antara produk dan jasa lokal.

Ciri utama gelombang globalisasi didominasi oleh informasi dan ilmu pengetahuan yang saat ini masih berlangsung. Gelombang informasi telah mengubah pola interaksi baik antar manusia dengan manusia dan organisasi, maupun antar organisasi. Pengambilan keputusan akan didasarkan pada pertimbangan keberadaan situasi secara cepat, efisien dan seefektif mungkin sehingga jarak dan waktu tidak akan menjadi penghalang.

Melalui dunia informasi kita berada dalam suatu dunia “hiper-realitas”, tanpa disadari, sejalan dengan dominasi dan percepatan informasi, di negara berkembang akan terdapat jenis pekerjaan atau jabatan baru yang bermunculan. Hal ini memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian serta tanggung jawab yang khusus untuk menjalaninya. Di sini, dunia pendidikan telah berada dalam jalur cepat dan dituntut untuk senantiasa peka terhadap perubahan zaman dan kebutuhan pasar (Carlo, 2001).

Supangat (1992) mengemukakan bahwa masuknya investasi multinasional ditandai dengan penyesuaian diri dengan standar-standar jaringan internasional. Misalnya, perencanaan hotel-hotel dan bangunan-bangunan lainnya, dalam kenyataaan kebanyakan industri yang tumbuh pesat di Indonesia membuat produk di bawah lisensi desain perusahaan internasional yang dilindungi (under licence). Paket produksi yang sudah disertai desain ini menutup peluang desainer lokal. Desain impor ini seringkali lebih murah karena pernah di pasarkan di negara maju dan produksinya di luar Negara asalnya merupakan “produksi lingkaran kedua”. Selama desain semacam ini masih laku di pasar, desainer produk lokal akan selalu kehilangan kesempatan karena yang terpakai dan dipasarkan adalah hasil iptek luar yang diimpor. Dalam kondisi ekonomi dan politik Indonesia dewasa ini “barang bekas” pun masuk dan “laku keras” di Indonesia, mulai dari suku cadang mobil, ban bekas, barang elektronik, pakaian, dan sebagainya. Situasi ini merupakan dampak globalisasi yang dapat berarti positif dan dapat pula berarti negatif bagi Indonesia.

Inti permasalahan globalisasi yang berkaitan dengan pendidikan adalah adanya suatu pertumbuhan dan percepatan yang sangat besar di dalam dunia kerja dan produk pakai dalam skala internasional. Banyak lapangan kerja lama yang hilang dan banyak pula lapangan kerja yang baru muncul (Tilaar, 1998). Keadaan ini harus dicermati oleh dunia pendidikan dan menindak lanjuti bagaimana lulusannya dapat menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi yang timbul akibat globalisasi. Misalnya, bagaimana suatu lembaga pendidikan tidak tertinggal dalam perkembangan iptek baru, bagaimana lulusan pendidikan tinggi menghadapi dunia industri baik di dalam negeri dan di luar negeri? Dengan demikian diperlukan lulusan yang siap pakai memenuhi tuntutan dalam negeri maupun luar negeri yang bersifat global.

[newpage]
Otonomi daerah yang diberlakukan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 2000. Agaknya otonomi daerah dalam dunia pendidikan masih semu terutama bila dikaitkan dengan dunia pendidikan tinggi swasta. Ada suatu benang merah yang dapat ditarik yaitu keinginan agar adanya partisipasi yang lebih besar dan otonom untuk meningkatkan semua potensi daerah dalam pembangunan, termasuk membina sumber daya manusia. Peluang dan tantangan semacam ini dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

  1. Adanya pengurangan ketergantungan PTS dari pemerintah pusat terutama dengan telah dikeluarkan SK Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
  2. Adanya partisipasi PTS yang lebih besar untuk meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan daerah/lokal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
  3. Adanya harapan untuk berperan lebih besar terhadap PTS, dari segi sponsor, pendanaan penelitian, pengembangan ilmu dan teknologi, serta aplikasi ilmu tertentu oleh semua potensi daerah termasuk semua perusahaan dan industri yang ada dan bergerak di daerah.
Adanya otonomi daerah dan globalisasi memerlukan lulusan pendidikan tinggi teknik (S1) harus siap pakai. Sedangkan lulusan pendidikan akademik S1 hanya “siap latih”. Ini dibenarkan oleh Tilaar (1998), karena tidak mungkin lembaga pendidikan mengikuti perkembangan dunia kerja yang berubah cepat dan biasanya lembaga pendidikan tercecer dari perkembangan iptek dan aplikasinya dalam dunia industri.

Sebagai solusi alternatif dapat dirujuk tulisan Kerr dan Pipes (1991). Menurut mereka, ketidaksiapan lulusan pendidikan teknik untuk terjun ke dunia profesi adalah wajar-wajar saja. Pendidikan akademik tidak dapat disalahkan. Masalah-masalah di atas dapat saja terjadi dalam suatu pendidikan tinggi teknik, seperti ketidaksiapan laboratorium, ketertinggalan mutu dan jenis peralatan, mutu dosen kurang, dan sebagainya. Mahasiswa bukanlah subjek yang mampu menerima informasi yang berlebihan. Namun, bagi Kerr dan Pipes (1991) yang paling penting adalah kreativitas lulusan dalam mengolah informasi untuk merancang (design) produk-produk baru yang berbeda dengan produk teknologi lama dengan landasan akademik sebelumnya. Untuk itu diperlukan latihan. Pendidikan yang mempunyai banyak latihan adalah pendidikan professional yang dikenal sebagai D1, D2, D3, D4, Sp1 dan Sp2 (setelah S1) sebagaimana dikemukakan Darwis (2000).

Seiring dengan tuntutan globalisasi dan otonomi daerah, maka Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta telah merencanakan pembukaan program diploma III (pendidikan profesional) Quantity Surveying pada tahun akdemik 2002/2003. Pembukaan Program studi ini disesuaikan dan mengacu kepada standar-standar internasional/global. Tanpa mengacu kepada standar internasional, tantangan dan peluang otonomi dan globalisasi, FTSP akan berlalu tanpa kesan, dan hanya akan menjadi penonton serta tamu di rumah sendiri. Dengan demikian orentasi pendidikan di FTSP tidak hanya kepada penguasaan ilmu tetapi sekali gus menyelenggarakan pendidikan professional. Pendidikan professional yang segera dibuka tahun akademik 2002/2003 adalah program D3 Quantity surveying dan program master (S2) Manajemen Konstruksi dan Teknik Arsitektur untuk pendidikan akademik setelah S1.

3. RENCANA PENDIDIKAN QS DI FTSP UNIVERSITAS BUNG HATTA

Program QS yang segera dibuka di FTSP terutama untuk memenuhi tuntutan globalisasi yang dewasa ini melanda semua negara di dunia, yaitu agar profesionalisasi lebih terarah disegala bidang, atau lebih diarahkan kepada tuntutan teknologi pembangunan negara maju yang sifatnya universal.

Program pendidikan QS diharapkan mampu memberikan beberapa tujuan antara lain:

  1. Menghasilkan tenaga ahli/akademik yang mampu meningkatkan pengetahuan, pendidikan dan pengkajian dalam QS, sehingga mampu mengembangkan ilmunya dalam masyarakat dengan baik dan benar.
  2. Menyiapkan sarjana teknik yang memiliki kemampuan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan ilmu pengetahuan dilapangan pekerjaanya.
  3. Menghasilkan tenaga pendidikan yang mampu serta berperan aktif mengembangkan dan memperdalam ilmunya pada pendidikan yang lebih tinggi.
Jumlah mahasiswa untuk QS ini diperkirakan dari lulusan Sekolah Menengah yang ada di Sumatera Barat (Tabel 3) khususnya dan Sumatera umumnya. Melihat perkembangan sekolah menengah yang makin meningkat (Tabel 4) akan memberi lulusan yang ingin memasuki perguruan tinggi akan meningkat pula. Apalagi jumlah peminat dari tahun ke tahun penerimaan mahasiswa yang ingin masuk ke FTSP menunjukan peningkatan, sedangkan jumlah yang diterima hanya 25 % (Tabel 4).


[newpage]
Tabel 3: Perkembangan jumlah Sekolah Menengah Negeri dan Swasta
di Kota Padang tahun 1994/1995 - 1998/1999

No SMU/SMK Tahun Akademik
1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
1 SMU Negeri 11 12 12 12 13
2 SMU Swasta 30 30 28 29 29
3 SMK Negeri 8 8 8 9 9
4 SMK Swasta 12 16 18 24 24
Jumlah 61 66 66 74 75


Tabel 4: Jumlah Lulusan Sekolah Menengah Umum dan Swasta serta
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dan Swasta di Kota Padang

No SMU/SMK Tahun Akademik
1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
1 SMU 7.665 7.313 6.828 7.036 7.319
2 SMK 3.243 3.239 3.712 4.015 5.475
Jumlah 10.908 10.552 10.540 11.051 12.794


[center]Tabel 5: Peminat memasuki Program Jurusan Teknik di Bung Hatta[/center]

Tahun akademik
JURUSAN TEKNIK
Jumlah Peminat
Diterima
ARSITEKTUR SIPIL PLANOLOGI
1995/1996
256 550 50 856 220
1996/1997 215 551 52 818 220
1997/1998 152 407 46 605 220
1998/1999 167 435 52 654 220
1999/2000 268 539 83 890 260
2000/2001 320 640 120 1080 260

[u]3.1. Kurikulum D3 QS[/u]

Kurikulum QS yang direncanakan untuk program D3 berpedoman kepada SK.Menteri N0.222/UU/1998, Bab.I, Fasal I, ayat 16, bahwa untuk menyelesaikan Program D3 harus menyelesaikan jumlah SKS minimal 110 SKS dan maksimal 120 SKS. Untuk pengembangan kurikulum dipedomani beberapa kurikulum program studi QS yang berlaku di beberapa Institusi yang menyelenggarakan pendidikan QS seperti UTM (Universiti Teknologi Malaysia) dan ITM (Institut Teknologi Mara). Kesemua kurikulum tersebut disempurnakan dengan mempertimbangkan SK Mendiknas No. 232/U/2000.

Jumlah SKS yang akan diberikan untuk menyelesaikan pendidikan D3 QS berjumlah 110 SKS dengan pengelompokan sistem kurikulum sebagai berikut:

- Kelompok mata kuliah dasar Umum (MKDU)
- Kelompok Mata Kuliah Dasar Keahlian
- Kelompok Mata Kuliah Keahlian
- Kelompok Mata Kuliah Pelengkap
- Kelompok Mata Kuliah Tugas Akhir

[u]3.2. Kerjasama dengan Institusi lain[/u]

Untuk meningkatkan kualitas FTSP telah diakukan kerjasama dengan beberapa insitusi pendidikan dalam negeri dan luar negeri. Kerjasama ini bertujuan untuk saling tukar menukar informasi dan saling membanttu diantara kedua institusi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tanpa dapat menjalin network dengan lembaga regional, nasional, dan internasional rencana pengembangan, peningkatan mutu tidak dapat direalisasikan dengan baik. Dalam konteks ini, network yang telah terjalin akan terus ditingkatkan. Hingga saat ini FTSP sudah menjalin kerjasama dengan Fakulti Alam Bina Universiti Teknologi Malaysia (FAB-UTM) dan Fachhochschule Hildesheim/ Holzminden (FHH) Jerman. Kerjasama dengan UTM telah dilakukan sejak tahun 1996 dengan kegiatan utama peningkatan pendidikan staf pengajar, kerja praktek mahasiswa, pertukaran staf pengajar dan mahasiswa. Khusus untuk pembukaan program QS ini FTSP bekerja sama dengan FAB-UTM tidak hanya terbatas dalam pengembangan staf, pengembangan kurikulum, kerja praktek mahasiswa tetapi juga dalam akreditasi program QS oleh Badan yang berwenang menilai setiap pendidikan QS dilaksanakan. Untuk staf pengajar saat ini 2 calon staf pengajar tetap untuk QS sedang menyelesaikan pendidikan QS di UTM.



5. DAFTAR PUSTAKA

  • Alkayat. 1995.
  • Arifin, B. 1992. Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi Dunia. Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta, Padang. Ashworth, 1994.
  • Carlo,N. 2001. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta Menghadapi Otonomi Daerah dan Globalisasi. Makalah disampaikan pada Pemilihan Dosen Teladan Universitas Bung Hatta, 14 April 2001.
  • Carlo,N. dan Peli,M 2001. Rancangan Pendidikan Quantity Surveying (QS) di Universitas Bung Hatta. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Prosfek Profesi QS di Indonesia. Kerjasama FTSP Universitas Bung Hatta-FAB Universiti Teknologi Malaysia, Padang, 14 November 2001. Christoper dan Partner (1994)
  • Darwis,H. 2000. Kajian Keperluan Profesi di dalam Pembangunan di Indonesia dalam Kaitan Pendidikan Senibina dan Program Pasca Ijazah di Universitas Bung Hatta. Tesis S2 Universiti Teknologi Malaysia.
  • Kerr,D.A. and Pipes, B. 1991. Pendidikan Kerekayasaan (Enginnering).
  • Peli,M. 1999. Keperluan Profesi QS dalam Industri Konstruksi di Indonesia. Tesis S2 Universiti Teknologi Malaysia.
  • Supangat,J. 1992. Kembali ke Satu Seni Rupa, Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kriya. Jakarta Art & Design Ekspo.
  • Tela, I.N. 2000. Kajian Keperluan Profesional Bagi Firma Perunding Arsitek di Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta. Tesis S2 Universiti Teknologi Malaysia.
  • Tilaar,H.A.R. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, dalam Perspektif Abad 21. Tera Indonesia. Magelang.
  • Waluyo, 1995.